Air Jadi Senjata, India Pakai Sungai Indus untuk Tekan Pakistan?

- Meskipun telah memutuskan gencatan senjata pada Minggu (10/5/2025), India masih belum memulihkan perjanjian air dengan Pakistan.

Untuk diketahui, New Delhi menangguhkan Indus Water Treaty atau Perjanjian Air Indus sejak penembakan maut di Khasmir pada 26 April lalu.

Terlebih lagi, mereka tengah mempercepat sejumlah proyek terkait Sungai Indus yang berpotensi mengurangi pasokan air ke Pakistan.

Perdana Menteri India, Narendra Modi memerintahkan agar perencanaan dan pelaksanaan proyek-proyek di sungai Chenab, Jhelum, dan Indus dipercepat.

Padahal, tiga sungai itu seharusnya sebagian besar airnya digunakan oleh Pakistan.

Sikap India pun menjadi sorotan dunia internasional dan menimbulkan pertanyaan tentang situasi politik kedua negara.

Berikut sederet fakta tentang India dan Pakistan yang sedang beda paham tentang perjanjian air.

Apa saja proyek India untuk sejak menangguhkan perjanjian?

Dilansir dari Reuters , Jumat (16/5/2025), salah satu rencana utama India adalah menggandakan panjang Kanal Ranbir di Sungai Chenab menjadi 120 km.

Dibangun sejak abad ke-19, kanal itu sudah ada jauh sebelum perjanjian air ditandatangani.

Apabila India memperluas kanal ini, mereka dapat meningkatkan pasokan air dari sekarang sekitar 40 meter kubik per detik menjadi 150 meter kubik per detik.

Kabar tentang perluasan kanal Ranbir tergolong baru dan belum pernah diberitakan sebelumnya. Sumber terpercaya mengungkap, diskusi terus berlangsung kendati gencatan senjata telah dicapai.

Sejumlah pihak seperti kementerian air dan luar negeri India, kantor Modi, hingga perusahaan tenaga air NHPC memilih bungkam terkait kabar ini.

Sebelumnya, Modi pernah menyampaikan pidato berapi-api yang menyatakan, "air dan darah tidak bisa mengalir bersamaan".

Kendati tidak menyebutkan tentang perjanjian secara langsung, pembahasan soal air dinilai sebagai tanda-tanda langkah India selanjutnya.

Bagaimana sikap Pakistan terkait keputusan India mundur dari perjanjian air?

Sebagai respons dari langkah India menangguhkan Indus Water Treaty, Pakistan telah mengirim surat ke India.

Menteri Luar Negeri Pakistan Ishaq Dar menjelaskan, surat itu berisi teguran pada India dan pernyataan bahwa Islamabad tetap menganggap perjanjiannya masih berlaku.

Lebih lanjut, Pakistan menyatakan apabila terus berlanjut maka langkah India mencoba menghentikan atau mengalihkan aliran air yang seharusnya milik mereka adalah "tindakan perang".

Sebagai penjelasan, sektor pertanian Pakistan bergantung pada sistem Sungai Indus. Setidaknya, 80 persen pertanian membutuhkan sungai tersebut.

Selain itu, hampir seluruh pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Pakistan juga berhantung pada Sungai Indus.

Meskipun menurut pakar keamanan air David Michel dari Center for Strategic and International Studies di Washington, India butuh banyak waktu untuk menyelesaikan pembangunan proyek di sungai-sungai tersebut.

Akan tetapi, Paksitan telah merasakan dampak pengurangan pasokan air sejak awal Mei 2025.

Salah satu titik penerima air utama di Pakistan mendapati, aliran air berkurang hingga 90 secara singkat. Hal ini disebabkan India mulai membangun proyek pemeliharaan di Sungai Indus.

Akankah perjanjian India dan Pakistan pulih?

Sejak ditandatangani pada 1960, Indus Water Treaty merupakan salah satu perjanjian pembagian air paling sukses di dunia.

Perjanjian ini tetap bertahan, padahal terjadi beberapa perang besar dan ketegangan panjang antara kedua negara.

Sungai Indus sendiri melintasi wilayah-wilayah sensitif secara geopolitik. Berasal dari Danau Mansarovar di Tibet, sungai ini mengaliri India utara dan Pakistan timur serta tenggara hingga bermuara di Laut Arab.

Selama ini, Pakistan kerap menentang proyek India di Sungai Indus.

Namun versi India, mereka telah mencoba negosiasi ulang sejak 2023. Negara itu perlu menyesuaikan antara pasokan air dan kebutuhan energi dengan pertumbuhan penduduk.

Berdasarkan perjanjian tersebut, India hanya diizinkan membagun proyek PLTA kecil di sungai yang seharusnya untuk Pakistan.

Di sisi lain, India bebas menggunakan tiga sungai lainnya yang merupakan bagian dari perjanjian yakni Sutlej, Beas, dan Ravi.

Namun kini, India dikabarkan sedang menyusun proyek besar PLTA untuk meningkatkan kapasitas listrik dari 3.360 megawatt menjadi 12.000 megawatt.

Laporan dari Reuters menyebutkan, rencana itu disusun sebelum insiden Kashmir dan sedang aktif dibahas.

Selain pembangkit listrik, sumber menyebutkan bahwa proyek-proyek itu meliputi pembangunan bendungan untuk menyimpan air berskala besar.

Apa yang sekarang dibahas India dan Pakistan?

Menurut pakar hubungan internasional Happymon Jacob dari Jawaharlal Nehru University di New Delhi, fokus India pada perjanjian air mencerminkan langkah politiknya.

Dalam hal ini, New Delhi dianggap menekan Pakistan terkait Kashmir yang sejak lama diperebutkan hingga diwarnai aksi penembakan pada bulan lalu.

"Dengan konflik terbaru ini, Delhi mungkin menolak membahas Kashmir dengan Pakistan dalam bentuk apa pun," kata Jacob.

"Delhi secara bertahap telah mempersempit ruang lingkup pembicaraan bilateral dan kini hanya fokus pada isu-isu tertentu seperti perjanjian air," lanjutnya.

Di sisi lain, Pakistan tengah mempersiapkan langkah hukum di sejumlah forum internasional untuk menegakkan lagi perjanjian air.

Adapun forum internasional yang menjembatani perjanjian tersebut antara lain Mahkamah Arbiterase Permanen, dan Mahkamah Internasional di Den Haag.

Menurut Pakistan, air tidak seharusnya dijadikan senjata dalam konflik mereka.

"Air tidak seharusnya dijadikan senjata. Kami bahkan tidak ingin membayangkan skenario di mana perjanjian ini tidak dikembalikan," ungkap Menteri Keuangan Pakistan Muhammad Aurangzeb.

Meskipun Pakistan tampaknya membutuhkan air, India sebenarnya juga mengalami ancaman serupa.

Seorang pakar asal AS, Michel, menyoroti pengamat India sedang khawatir mengenai konsekuensi yang akan mereka terima jika menggunakan air untuk menekan negara lain.

"Dengan meningkatnya persaingan geopolitik di kawasan, banyak pengamat India sendiri yang khawatir jika Delhi menggunakan air sebagai alat tekan terhadap Islamabad, maka hal itu bisa menjadi preseden bagi Beijing untuk melakukan hal yang sama terhadap India," terang Michel.