
Ketiganya mengecam keras invasi masif Israel di Gaza yang disebut sebagai Operasi Kereta Perang Gideon. Di hari Senin, 19 Mei, para pemimpin tersebut memperingatkan bahwa mereka berencana memberlakukan sanksi terhadap Israel apabila operasi militer ini tetap dilanjutkan tanpa henti.
Menanggapi ancaman yang disampaikan oleh Perdana Menteri Inggris Keir Starmer, Presiden Prancis Emmanuel Macron, dan Perdana Menteri Kanada Mark Carney, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu justru mengkritik kembali mereka tersebut. Ia menyindir pernyataan ketiganya sebagai 'keuntungan besar' bagi Hamas.


Pada pernyatan gabungan itu, Carney, Starmer, dan Macron dengan tegas menyuarakan penolakannya terhadap pemblokiran bantuan kemanusiaan menuju Gaza. Kritikan mereka juga tertuju pada niat Menteri Israel yang ingin mendeportasi penduduk Gaza dari wilayah mereka sendiri.
"Kami tidak berencana hanya menonton saat pemerintahan Netanyahu melancarkan langkah-langkah yang sangat memprihatinkan itu. Apabila Israel tetap melanjutkan serangan militernya serta tak mencabut batasan-batasannya atas bantuan kemanusiaan, maka kita akan merespons dengan tindakan nyata tambahan," ungkap para pemimpin tersebut sebagaimana dilansir. AFP .
"Mereka menyatakan komitmennya untuk mengenali negara Palestina sebagai bagian dari upaya menuju solusi dua negara dan bersedia bekerjasama dengan pihak lain guna mewujudkannya," tambahnya.

Sayangnya ke tiga tokoh tersebut enggan menyebut hukuman apa yang bakal diberlakukan apabila Israel tetap melanjutkan operasinya yang bernama Operasi Gideon ini.
Pernyataan 22 Negara
Pisahkan dari itu, 22 negara telah merilis pernyataan bersama yang mendesak Israel untuk menghapuskan blokade bantuan kemanusiaan menuju Gaza. Para pihak tersebut menekankan bahwa pemblokadian ini membuat penduduk di Gaza berada dalam ancaman kelaparan.
Perjanjian itu diketuai oleh Australia, Kanada, Denmark, Estonia, Finlandia, Prancis, Jerman, Islandia, Irlandia, Italia, Jepang, Latvia, Lithuania, Luxembourg, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Portugal, Slovenia, Spanyol, Swedia, dan Inggris.
Israel Memblokade Sejak 2 Maret
Israel telah menutup akses bagi bantuan humaniter menuju Gaza mulai tanggal 2 Maret 2025. Kemudian pada hari Senin, 19 Mei, pihak Israel merelakan masuknya sejumlah tertentu dari bantuan tersebut ke wilayah Gaza.
Netanyahu mengatakan bahwa sikap lemah tersebut disebabkan oleh kekurangan makanan yang merusak kredibilitas Israel dalam melakukan operasi militer di Gaza. Dia kemudian meminta para pemimpin negara-negara Eropa untuk menjadikan Presiden AS Donald Trump sebagai teladan karena diyakininya terus mendukung Israel.

"Konflik bisa usai esok bila tebusan yang masih dipertahankan dilepaskan, Hamas menyerahkan senjatanya, tokoh-tokohnya yang keras kepala dikucilkan serta wilayah Gaza dide-militarisasi. Tak ada bangsa pun boleh diminta merelakan hal lain dan Israel pastinya tak bakal mengiyakkannya," kata Netanyahu.
" Ini merupakan pertarungan antara peradaban dan kebrutalan. Israel akan tetap membela dirinya secara adil hingga mencapai kemenangan lengkap," tandasnya.
Akan tetapi, beberapa orang berpendapat bahwa Netanyahu menjadi lebih fleksibel akibat tekanan dari para sekutunya, terlebih lagi Amerika Serikat. Ia akan menghadapi dampak negatif apabila tetap menolak untuk memperbolehkan bantuan masuk ke Gaza.
Sembilan truk bantuan telah tiba, namun hal tersebut ibarat tetesan air di laut lantaran tak sepadan dengan jumlah penduduk Gaza yang mengidamkan makanan.
Social Plugin