
Artikel Sebelumnya
Bagian 1: Kampanye Purnawarman dan Skenario Tanjung Priok
Bagian 2: Kala Sriwijaya Menghukum Tarumanegara
Bagian 3: Pengembalian Kekuasaan dari Sriwijaya ke Kerajaan Sunda-Galuh
Bagian 4: Runtuhnya Kerajaan Sunda: Pemimpin Buruk & Serbuan Wong Pasisir
Tatar Sunda menjelang abad ke-17 mengalami carut-marut politik, terutama setelah kejatuhan Kerajaan Sunda. Bekas-bekas wilayahnya tercabik berbagai kutub politik baru yang bermunculan, baik di daerah pesisir maupun di pergunungan.
Cirebon dan Banten yang menjadi pemenang utama konflik suksesi di Tatar Sunda, rupanya tidak pernah benar-benar mengunifikasi karya para leluhurnya di masa klasik. Sementara itu, Sumedang yang tidak pernah digadang-gadang hadir sebagai kekuatan dominan, justru mampu mengonsolidasi daerah pergunungan Sunda yang terjal.
Situasi politik di Tatar Sunda itu nantinya disapu oleh angin perubahan yang muncul dari barat dan timur. Di masa-masa itu muncul kekuatan VOC yang melampaui pengaruh Portugis di Jawa kurang lebih 30 tahun sebelum kedatangan mereka, sedangkan di jantung Jawa trah Mataram mampu memberangus gelandangan-gelandangan politik bekas bawahan Demak.
Terkait sapuan angin perubahan itu, Reiza Dienaputra dalam Sunda: Sejarah, Budaya dan Politik (2011) berkomentar bahwa peristiwa ini telah membawa urang Sunda untuk kesekian kalinya berhadapan dengan tantangan globalisasi. Walau bukan yang pertama kalinya bagi orang Sunda—sebab setidaknya sejak abad ke-5 orang Sunda sudah menjadi bagian dari populasi dagang lintas Samudra Hindia, kali ini tampaknya urang Sunda menunjukkan gejala yang berbeda daripada sebelumnya.
Dienaputra menyebut bahwa masyarakat Sunda telah mencapai titik jenuh pasca keruntuhan "juragan politik"-nya, Kerajaan Sunda itu sendiri. Mereka seakan-akan mundur dan cenderung menolak ikut serta dalam mondialisasi, dan bagi Dienaputra hal itu disebabkan oleh Islam-Jawa dan kekuatan barat.
Mataram dan Kompeni Berebut Sunda
Setelah Kesultanan Mataram menguasai eks wilayah-wilayah pedalaman Kerajaan Sunda-Galuh pada 1614, kondisi politik di daerah tersebut mengalami berbagai pergolakan. Para birokrat Sunda yang ditunjuk oleh Sultan Agung untuk menjalankan kepentingan politiknya di Priangan silih berganti mengecewakan Sang Raja Jawa.Mumuh Muhsin Z. dalam "Kerajaan Sumedang Larang" (2008) menyebutkan bahwa bekas raja-raja Sumedang Larang yang bertransformasi menjadi bupati wedana —jabatan yang dibentuk Sultan Agung yang ditugasi untuk mengoordinasikan bupati-bupati lain, kemudian diganti oleh Dipati Ukur yang berkuasa di Bandung.
Namun seperti disinggung dalam naskah Sajarah Sukapura yang pernah dibuat edisinya oleh Emuch Hermansoemantri (1979), Dipati Ukur kemudian memberontak melawan Sultan Agung yang salah mengira ia melakukan disersi sewaktu kampanye militer Mataram ke Batavia. Peristiwa ini ditutup dengan dikirimnya Tumenggung Bahureksa oleh Sultan Agung ke Priangan untuk menciduk gerombolan Dipati Ukur.
Sebagai gantinya, Sultan Agung kemudian menerbitkan suatu prasasti logam ( piyagem ) yang isinya menjadi titik balik sejarah Sunda. Sebagaimana pernah saya tulis dalam " Piyagĕm Sukapura (1641 M): Geopolitik Kerajaan Mataram Islam di Priangan " (2022), Sultan Agung mengeluarkan suatu piyagem yang isinya mengesahkan pengangkatan tiga bupati di Priangan yang langsung ditunjuk olehnya.
Tiga bupati yang ditunjuk sebagai perpanjangan tangan Sultan Agung itu adalah Bupati Bandung, Tumenggung Wira Angun-angun; Bupati Parakanmuncang (sekitar Cicalengka-Nagreg sekarang), Tumenggung Tanubaya; dan Bupati Sukapura (Tasikmalaya sekarang), Tumenggung Wiradadaha.
Uniknya, di dalam piyagem itu disebutkan bahwa ketiga bupati itu diberikan regalia-regalia kekuasaan khas Jawa. Atribut-atribut itu meliputi keris, payung kebesaran, baju dodot, dan para abdi dalem yang khusus didatangkan dari Mataram. Hal ini menunjukkan bahwa Sultan Agung berusaha menanamkan "cara Jawa" sebagai legitimasi para penguasa Sunda. Kasarnya, seorang penguasa harus menjadi Jawa (dalam konteks berperilaku) untuk berkuasa.
Namun, kondisi ini tidak berlangsung lama lantaran Sultan Agung kemudian wafat pada 1645. VOC yang diam-diam sudah memperhatikan Priangan dari Batavia, kemudian berusaha menanamkan pengaruhnya perlahan-lahan. Kurang lebih 20 tahun pasca mangkatnya Sultan Agung, Kompeni berhasil mengambil alih wilayah Priangan jengkal demi jengkal, melalui intervensi politik di Cirebon-Banten dan perjanjian politik terhadap Amangkurat I di Mataram.
Muhsin Z. dalam Priangan dalam Arus Dinamika Sejarah (2011) menyebutkan bahwa mulai abad ke-18, seluruh wilayah Priangan dari Cianjur hingga Ciamis telah tunduk di bawah Batavia. Berbeda dengan Sultan Agung yang punya motivasi religio-kultural dalam menyatukan Pulau Jawa ketika menginvasi Pasundan, Kompeni condong tertarik dengan kesuburan Priangan yang amat mendukung dalam agenda kultivasi kopi mereka.
Transformasi Regresif Sunda
Dinamika politik Sunda dari abad ke-17 sampai abad ke-18 telah menimbulkan suatu bentuk budaya baru yang dikenal sebagai "budaya menak". Seperti dideskripsikan oleh Nina Herlina Lubis dalam Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942 , budaya ini secara umum merupakan bentuk kultur feodal yang sampai saat ini menjadi wajah dari kebudayaan Sunda.Aspek-aspek budaya feodal itu muncul dari pendopo-pendopo kabupaten di seluruh Priangan, yang secara umum diduduki oleh para bupati yang sebelumnya ditunjuk oleh Mataram. Penggunaan tingkatan bahasa ( undak-usuk basa ) merupakan agen utama dalam pendistribusian kultur ini ke pelosok-pelosok Sunda.
Segregasi bahasa Sunda kasar, loma, dan halus merupakan representasi dari pembedaan kelas, antara para menak (bangsawan) dan para cacah (orang biasa). Bersama dengan tingkatan itu, banyak unsur bahasa Jawa modern terserap dalam bahasa Sunda yang sudah ada, sehingga memunculkan bahasa Sunda baru yang digunakan sebagian orang Jawa Barat sampai sekarang. Jika dibandingkan dengan bahasa Sunda Kuno (pra-Mataram) yang cenderung egaliter, perubahan budaya ini bisa dianggap sebagai regresi.
Lain itu, maraknya kapitalisme kultivasi kopi dan komoditas lainnya di Priangan dikombinasikan dengan feodal warisan Mataram telah menimbulkan lahirnya beberapa stigma terhadap orang Sunda. Menurut G.A. Jaelani dalam " Perempuan Sunda dan Pelacuran di Zaman Kolonial " (2020), masyarakat Sunda masa kolonial begitu toleran terhadap praktik prostitusi.
Kegiatan transaksi tubuh perempuan ketika itu dianggap sebagai semacam prestise, mereka menghidupi hal tersebut sebagai akibat dari mencontoh kalangan priyayi atau tuan tanah. Para menak kala itu lazim mengoleksi perempuan di rumah-rumah dinas mereka atau kabupaten.
Oleh karena itu, hobi mengoleksi perempuan dianggap sebagai hobi kelas atas. Keadaan semacam ini menyebabkan perempuan Sunda mendapat stigma sebagai perempuan pesolek.
Social Plugin