
Pasar saham dunia meningkat pada Senin (8/5/2025), berkat perjanjian perdagangan sementara yang dicapai antara AS dan Cina.
Dua negara tersebut setuju untuk mengurangi bea masuk sebagai bagian dari usaha mereka untuk mendinginkan tensi yang telah lama mengintai dan berpotensi membahayakan perekonomian global.
Melalui pertemuan akhir pekan di Jenewa, Amerika Serikat setuju untuk mengurangi tariff terhadap produk China dari angka 145% hingga menjadi 30%.
China pun mengurangi tarif impor dari 125% menjadi 10%. Perjanjian ini efektif selama durasi negosiasi sepanjang 90 hari.
Menurut laporan dari Reuters, pasar saham menunjukkan respons positif. Indeks S&P 500 di Bursa Wall Street mengalami kenaikan sebesar 3,3%, sedangkan Nasdaq yang didominasi oleh saham-saham teknologi naik tajam hingga 4,4%.
Washington dan Beijing merilis pernyataan bersama yang menegaskan bahwa perdagangan antara kedua negara merupakan faktor krusial untuk menjaga kestabilan ekonomi dunia.
Kesikapannya yang positif dalam pernyatan tersebut turut memperkuat keyakinan para pemodal.
Meskipun saham naik, harga aset yang umumnya dipilih sebagai safe haven selama krisis malah menurun. Yen Jepang bergerak ke bawah 2,1% hingga mencapai level 148,39 per dolar AS, setara dengan sekitar Rp2.451 untuk satu yen.
Frank Swis merosot 1,8%. Sementara itu, Dolar Amerika Serikat meningkat melawan beberapa mata uang besar lainnya, seperti ditunjukkan oleh kenaikan indeks dolar sebesar 1,17%.
Harga emas juga mengalami penurunan. Nilainya bergerak turun 2,7 persen hingga mencapai tingkat USD 3.234,8 per ons, setara dengan kisaran Rp53,4 juta, dan ini menjauhi angka puncaknya di bulan lalu yang sempat menyentuh USD 3.500 per ons.
"Ini merupakan proses penyembuhan alami pasca pasar mengalami penurunan," ungkap Gina Bolvin dari Grup Manajemen Kekayaan Bolvin Wealth Management Group yang juga menjadi Presiden, saat berada di Boston.
“Pasar sedang menguji batas atas. Kalau berhasil menembus, ini akan jadi kemenangan besar buat Trump, buat bursa, dan buat investor,” sebutnya.
Euro juga melemah 1,4 persen menjadi USD 1,1090 atau sekitar Rp18.320, setelah sempat menguat bulan lalu karena keraguan investor terhadap dominasi dolar sebagai mata uang cadangan global.
Kepala Strategi Valuta Asing dari Societe Generale, Kit Juckes, menggambarkan perjanjian tariff tersebut sebagai kabar baik yang sangat membantu untuk kedua belah pihak.
Sebelumnya, perselisihan perdagangan sudah menyebabkan para ekspor dari China merasa khawatir. Berdasarkan data terkini, harga pabrikan di China mengalami penurunan yang cukup signifikan selama enam bulan terakhir ini.
Di AS, kebijakan perdagangan Presiden Donald Trump yang kerap berubah-ubah juga memicu kekhawatiran investor, apalagi menjelang laporan keuangan perusahaan besar seperti Walmart.
Akan tetapi, pernyataan yang dibuat pada hari Senin ini telah mendorong para pemain di pasar komoditas untuk mempertimbangkan kembali tingkat risiko dari kemungkinan resesi.
Harga minyak mentah jenis Brent untuk penyerahan pada bulan mendatang meningkat kurang lebih 1,9% menjadi mencapai USD 65,10 per barel, setara dengan sekitar Rp1,07 juta. Seminggu yang lalu, harga tersebut masih berada dalam rentang USD 57.
Di Eropa, indeks STOXX 600 meningkat sebesar 1,2 persen. Di sisi lain, Bursa Hong Kong turut menunjukkan kenaikan, di mana indeks Hang Seng berakhir dengan kenaikan mendekati 3 persen.
Belum Akhir Cerita
Walaupun pasar merespons dengan optimisme, beberapa pakar menganggap perjanjian ini mungkin tidak akan berlangsung cukup lama. Meskipun demikian, indeks saham global MSCI meningkat 2% dan kembali mencapai tingkatan pada akhir bulan Maret.
Meskipun demikian, catatan sejarah mengungkapkan bahwa Amerika Serikat dan Tiongkok telah menandatangani perjanjian mirip pada tahun 2018-2019, namun upaya tersebut tidak bertahan lama.
Sheldon MacDonald, Ketua Investasi di perusahaan pengelola aset Marlborough, mengatakan bahwa tarif 30% yang terus dipertahankan Amerika Serikat masih akan membatasi perkembangan ekonomi.
" belum ada indikasi pasti bahwa ancaman resesi memang sudah reda," ujarnya.
Yield dari obligasi pemerintahan Amerika Serikat dengan jangka waktu 10 tahun meningkat sekitar 10 pip. Fenomena serupa pun terlihat pada obligasi negara Jerman serta Inggris.
Analisis dari Citi menekankan bahwa tidak seluruh pengikut Trump sepakat dengan kesepakatan tersebut.
"Tidak akan instan untuk memperoleh lebih banyak pemahaman," ungkap Direktur Eksekutif sekaligus Kepala Investasi di Paleo Leon, John Praveen.
"Perjanjian baru ini hanya akan betul-betul dirasakan apabila Trump dan Presiden China Xi Jinping bertemu secara langsung dan saling bersalaman. Baru pada saat itulah kita dapat mengatakan bahwa langit semakin cerah," lanjutnya.
Social Plugin