
Telunjuk Digital.CO.ID, Oleh: Fajar Suryawan, PhD*
Setiap bulan, para orangtua murid dari kelas 6 dan kelas 9 sibuk mencari sekolah baru bagi anak-anak mereka. Mayoritas orangtua tersebut mengharapkan pendidikan terbaik agar masa depan anak-anak mereka lebih baik lagi. Pemerintahan negara Indonesia pun turut memiliki kepentingan dalam hal ini karena ikut serta mempersiapkan generasi muda sebagai pemimpin bangsa yang bijaksana, kompeten, dan berkarakter jujur.
Tahun ke tahun berganti. Dari mulai pembentukan mereka, muncul lah sekolah-sekolah unggulan di setiap jenjang pendidikan. Sekolah menengah pertama (SMP) serta sekolah menengah atas (SMA) terbaik menjadi prioritas utama, sehingga memudahkan mereka dalam merekrut dan memilih siswa baru dengan prestasi akademis tertinggi.
Saat jumlah siswa berbakat yang mendaftar bertambah, maka alumni yang tampak pandai juga meningkat, sehingga minat pendaftaran dari potensi pelajar-pelajar baru pun naik setiap tahunnya. Popularitas suatu sekolah biasanya menjadi semakin menancap kukuh. Di jenjang SMA, kondisi tersebut bahkan diperkuat dengan fakta bahwa universitas-universitas negeri akan memilah bakat istimewa melalui ujian masuk nasional berdasarkan catatan prestasi tahun-tahun lampau. Dengan demikian, orangtua cenderung bersaing agar dapat mendapatkan tempat bagi anak-anak mereka di SMA favorit tersebut.
Sekolah yang kurang populer masih akan tetap sebagai pilihan kedua dan hanya jadi alternatif. Siswa-siswinya kebanyakan memiliki standar akademik yang lebih rendah. Lingkungan pembelajaran di tempat ini cenderung kurang kondusif dibandingkan dengan sekolah unggulan. Bahkan, semangat para guru disini pun biasanya tidak sekuat di sekolah-sekolah terbaik.
Beberapa orang mengatakan bahwa sekolah-sekolah terfavorit dapat mencapai prestasi tinggi karena mereka menerima siswa-siswa dengan potensi besar sejak awal. Jika para pelajar berbakat ini semua menuntut ilmu di satu sekolah biasa, bukankah hasil akhirnya juga akan sama cemerlang? Mengajarkan anak-anak cerdas ternyata jauh lebih sederhana dan membangkitkan motivasi bagi pengajar!
Keunggulan tertentu pada sebuah sekolah (dan oleh karena itu kurangnya keunggulan di sekolah lain) menjadi perhatian serius untuk banyak pihak. Kualitas pendidikan serta lingkungan pembelajaran yang baik adalah hak setiap siswa. Setiap sekolah pantas menerima bakat terbaik. Siswa-siswa yang masih membutuhkan pengembangan akan dapat belajar sejalan dengan mereka yang telah memiliki prestasi jika ditempatkan dalam satu kelas.
Dengan demikian lahirlah konsep zona sekolah. Seluruh sekolah negeri akan mendaftarkan siswa baru terlebih dahulu bagi mereka yang tinggal paling dekat dengan sekolah tersebut. Rumah semakin dekat dengan tempat sekolah, maka peluang untuk masuk ke sekolah tersebut pun menjadi semakin besar. Meskipun begitu, kualitas diri bukan faktor penentunya. Sekolah tetap memiliki hak istimewa dalam menampung calon siswa-siswi dari daerah yang cukup jauh melalui program beasiswa atau berdasarkan bakat serta capaian prestasinya. Diharapkan langkah ini dapat menyebabkan sebaran murid-murid cerdas merata di setiap institusi pendidikan, menciptakan suasana kondusif di seluruh lingkungan belajar, menghapus bias tertentu, hingga pada akhirnya bisa membongkar ikatan antara ketidakmampuan intelektual dan kemiskinan.
Sistem zonasi memiliki manfaat ekstra: pengurangan kemacetan lalulintas ketika mengantarkan dan menjemput anak di sekolah, serta peningkatan efisiensi bahan bakar minyak. Selain itu, sistem ini mendorong sekolah-sekolah swasta untuk menciptakan perbedaan yang lebih baik sehingga bisa menarik lebih banyak calon siswa baru dari seluruh wilayah Indonesia.
Lebih jauh lagi dalam upayanya menghilangkan favoritisme sekolah, pemerintah lewat Kemendikbud menghapus ujian nasional di akhir masa belajar di SD, SMP, maupun SMA. Ini memang mempunyai efek, salah satunya, mengaburkan indikator akhir pembelajaran sehingga masyarakat tidak langsung bisa mengindera sekolah mana yang lebih bagus.
Akan tetapi, sistem zonasi meninggalkan tantangan besar dan menciptakan berbagai pertanyaan yang belum terselesaikan. Banyak orangtua murid rela mengubah domisili mereka dalam KTP untuk memastikan anak-anaknya dapat diterima di sekolah-sekolah unggulan tersebut. Mereka tak perlu benar-benar pindah tempat tinggal; cukup dengan mendaftarkan diri sebagai anggota keluarga pada KK milik teman atau kerabat yang bertempat tinggal dekat dengan sekolah impian itu saja.
Tidak sedikit pula orang tua siswa yang mencari surat keterangan miskin hanya supaya anaknya diterima di sekolah favorit yang ditarget, padahal hidupnya sangat berkecukupan. Gawatnya, upaya-upaya tak terpuji di atas seringkali berhasil. Sekolah hanya bisa pasrah ketika menerima surat-surat keterangan asli tapi palsu itu.
Penipuan tersebut telah menjadi suatu hal biasa yang melukai banyak orang jiwanya—mereka yang tetap setia pada prinsip-prinsip ketentraman dan harkat martabat hidup sesuai aturan. Hal ini juga memberikan sinyal negatif bagi pemuda-pemudi kita: bahwa melakukan penyelewengan adalah cara terbaik untuk mencapai tujuan mereka tanpa adanya akibat atau dampak buruk. Dalam konteks seperti itu, kita secara tidak langsung tengah merancang sebuah masyarakat dipenuhi oleh perilaku licin serta korupsif. Tentu saja situasinya sungguh membuat cemas. Lalu bagaimana sebenarnya maknanya dari segala informasi ini, dan langkah apa yang dapat ditempuh demi masa depan lebih baik?
Sistem yang bergantung sepenuhnya pada pencapaian akademik, menggunakan nilai ujian nasional sebagai dasar penerimaan siswa ke tingkat pendidikan selanjutnya, bisa dibilang fair oleh anak yang cerdas serta oleh keluarga yang biasanya mengasuh buah hatinya dengan mendorong rasa ingin tahu. Sistem zonasi dianggap fair oleh anak yang memiliki potensi tetapi bukan berasal dari latar belakang keluarga yang mengutamakan pendidikan formal.
Zonasi (atau rayonisasi) sesungguhnya baik mengingat argumen-argumen yang telah disebutkan sebelumnya. Akan tetapi, harus dipahami, dan hal ini amat krusial, bahwa zonasi memiliki beberapa ketentuan yang diperlukan. necessary conditions ) yang perlu dicapai. Bila ketentuan-ketentuan tersebut belum tercapai, maka persoalan takkan terselesaikan dan penipuannya bakal tetap berlanjut; tindakan preventif cuma seperti menambal lubang saja. Keseluruhan persyaratan ini mengacu kepada sebuah topik utama yaitu fairness .
Pertama-tama, semua sekolah pada level yang sama perlu memiliki fasilitas serupa. Mulai dari struktur gedung hingga perlengkapan penunjang lainnya serta mutu guru-guru mereka pun juga harus diperhatikan. Apabila segala bentuk standar untuk semua SMP dan SMA sudah merata, murid-murid tidak lagi keberatan untuk menempuh studi di manapun. Kondisi saat ini cenderung menguntungkan bagi pelajar-pelajar yang berasal dari daerah strategis atau dekat dengan lokasi tempat unggulan tersebut; sedangkan siswa-siswa yang domisili rumahnya agak menjauh dari pusat keramaian umumnya hanya bisa mendapatkan layanan pendidikan dengan fasilitas kurang mumpuni dibandingkan saudara seusia mereka yang berdomisili di area perkotaan.
Kedua, pembagian lokasi sekolah harus merata di semua wilayah kota atau kabupaten dengan jumlah kursi yang cukup. Sama halnya dengan mutu pendidikan yang sebanding serta distribusi yang adil menjadi tujuan utama dari sistem zonasi. Terdapat satu kabupaten di Jawa Tengah yang memiliki empat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dekat satu sama lain hanya dalam rentang beberapa ratus meter. Pada situasi semacam itu, SMP yang telah populer cenderung tetap popular sementara SMP yang kurang diminati pun masih akan ditinggalkan.
Anak-anak yang tinggal di area tersebut memiliki berbagai opsi, sementara mereka yang bertempat tinggal jauh dari wilayah tersebut (dan tanpa adanya SMP lain dalam radiusnya) akan bersaing ketat. Hal ini membuat tujuan zonasi semakin samar dan kalah penting. Meski demikian, perlu ditegaskan bahwa letak sekolah-sekolah negeri di kabupaten tersebut selama ini memang belum disusun dengan mengedepankan konsep zonasi.
Ketiga, dukungan dalam bidang pendidikan pun telah meningkat. Sistem zonasi sudah diberlakukan oleh sekolah-sekolah negeri selama beberapa waktu. Akan tetapi, yang mencengangkan adalah bahwa PTS-PTS tampak seperti tidak peduli dengan masalah tersebut. Hal ini sungguh disayangkan. fair , apabila angkatan pertama yang menerapkan sistem zonasi baru saja menyelesaikan pendidikannya dari SMA, maka PTN perlu segera melakukan evaluasi kembali terhadap proses penerimaan melalui jalur SNBP.
Sebaliknya dari evaluasi, sebagian besar PTS masih menerima siswa-siswa SBPN menggunakan metode yang sama, yang mencerminkan bias. Ini menjaga sikap pilih-pilih pada sekolah-sekolah tertentu sehingga para orangtua terus berupaya dalam cara-cara kurang baik agar dapat mendidik anak mereka di sekolah unggulan, akhirnya meredam ambisi perbaikan mutu pendidikan secara luas.
Keempat, penerapan hukuman bagi siswa yang mendaftar secara curang. Faktanya, situasi yang kurang ideal saat ini menyebabkan banyak orang bersaing untuk mendapatkan tempat di sekolah-sekolah unggulan, bahkan dalam sistem zonasi. Situasi tersebut belum juga membaik. fair Mendorong orang untuk mencari cara menghindari peraturan. Oleh karena itu, adalah tugas lembaga pendidikan untuk menerapkan semangat dari ketentuan tersebut. Sebagai contoh, setelah satu bulan sejak penerimaan murid baru, semua alamat harus dicek secara mendadak guna memastikan bahwa si pelajar betul-betul tinggal di tempat yang diklaimnya dan kondisi keuangannya sesuai dengan apa yang telah disampaikan. Apabila terdapat indikasi penipuan, maka mereka dapat dipindahkan atau dilepaskan.
Pemerintah, sebagai pengelola sumberdaya, berkesempatan untuk membangun peradaban berkeadilan dengan meng- acknowledge Masalah ini melalui upaya maksimal dalam menyelesaikan syarat-syarat tersebut. Pihak pemerintahan memiliki kesempatan untuk mengedukasi rakyatnya, bukan hanya melalui sistem pendidikan formal, tetapi juga melalui keputusan-keputusan mereka serta diskusi-diskusi terbuka yang ada. Proses belajar-mengajarkan harus dilakukan demikian. fairness Untuk masyarakat umum tak kalah penting dibandingkan dengan pendidikan formal. Lingkungan yang adil menjadi elemen yang sangat diperlukan. fairness akan mendorong manusia agar pula bersikap adil serta setaraf dalam bermasyarakat dan terhadap struktur pemerintahan negara.
Jelas saja bahwa mencapai kriteria tersebut bukanlah hal yang sederhana. Bagaimanakah tindakan yang seharusnya diambil oleh pemda apabila ketentuan-ketentuan itu agak sukar dicapai secara cepat? Ini kemudian membawa kita ke diskusi selanjutnya tentang pentingnya adanya dialog terbuka antara para pejabat publik dengan rakyat jelata. Adalah demikian, civic discourse.
Pemerintah daerah perlu terus berupaya menciptakan kondisi tersebut. Tetapi mengingat perubahan ini membutuhkan waktu, pihak pemda harus menyampaikan rancangan mereka secara jelas kepada publik. timeline Menciptakan situasi-situasi untuk perubahan sistem zona tersebut. Rencana pendistribusian SMP ke tiap-tiap bagian kabupaten akan dieksekusi dalam beberapa tahun kedepan. Peningkatan serta penyamaan fasilitas semua SMA akan diproses menggunakan strategi tertentu. Kualitas para guru akan dinaikkan, dan guru-guru yang kreatif dan menjadi contoh akan didistribusikan melalui metode seperti itu. PTN akan bekerja sama dengan Kemendikbud berkaitan dengan SNBP dalam konteks sistem zonasi ini. Sanksi benar-benar akan diberlakukan. Demikian juga hal lainnya.
Obrolan-obrolan terbuka tersebut pastinya akan menghangatkan semangat warga negara, membawa kembali rasa percaya pada struktur kepemimpinan, serta memberikan pendidikan bagi anak-anak muda. fair Dan dengan keadilan. Tentunya, seluruh komitmen yang dibuat pemerintah daerah dalam diskusi terbuka tersebut perlu dilaksanakan sebagaimana mestinya. timeline . Penjagaan fairness dengan aksi nyata dan civic discourse. Ini sangat bisa dilakukan.
*Lulusan dari Universitas Newcastle, Australia. Guru di Univesitas Muhammadiyah Surakarta. Tempat tinggalnya ada di Klaten.
Social Plugin