- Pencarian kembali sejarah Indonesia yang dikerjakan pemerintahan, tidak disetujui para ahli sejarah.
Penolakan itu disampaikan oleh beberapa sejarawan yang menjadi bagian dari Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI), pada sidang raker bersama Komisi X DPR RI di gedung parlemen, Senayan, Jakarta, pada hari Senin tanggal 19 Mei 2025.
Sebenarnya, pemerintah berencana untuk meluncurkan kembali tulisan sejarah Indonesia yang telah direvisi kepada publik pada tanggal 17 Agustus 2025 nanti.
Pada pertemuan tersebut, Mantan Jaksa Agung dan Ketua AKSI, Marzuki Darusman, mengumunkan penolakannya atas usulan untuk merevisi kembali sejarah.
Berikut ini merupakan lima poin yang dikemukakan oleh AKSI:
Pertama, pernyataan Departemen Seni dan Budaya tentang penyusunan kembali sejarah diartikan sebagai usaha yang disengaja oleh pemerintah untuk memodifikasi masa lalu bangsa Indonesia melalui interpretasi seragam.
Proyek ini dianggap sebagai metode halus untuk mengekang pikiran masyarakat serta mendominasi interpretasi sejarah.
Kedua, berdasarkan skenario politik tersebut, pemerintah memanfaatkan kekuasaan historis untuk mengimplementasikan sistem politik atau urutan tertentu. Oleh karena itu, penting dan sah bagi pemerintah untuk mendefinisikan serta menetapkan batasan-batasan normatif terkait tingkah laku, pikiran, dan opini publik agar sesuai dengan legitimasi pemerintah seperti yang diwujudkan melalui gambaran sejarahnya.
Ketiga, semua wewenang pemerintahan diterapkan dan dieksekusi sepanjang spektrum politik. Rentangan ini memiliki batasan ekstrem yakni otoritarianisme pada satu ujungnya dan totalitarianisme pada ujung satunya.
Totaliteran tidak semata-mata merupakan kumpulan dari otoriter; justru sebaliknya, otoriter bukan versi teredam dari totaliter yang dapat dihindari atau dilarang hanya dengan penolakan serta sekumpulan pernyataan lisan dari pihak berwenang.
Keempat, proyek penyusunan kembali sejarah oleh Kementerian Kebudayaan dianggap sebagai jenis sejarah rekayasa yang menyalahi prinsip kekeluargaan rakyat.
Kelima, sejarah Indonesia sudah lama dijadikan acuan oleh dunia.
Menyembunyikan sejarah untuk tujuan kekuasaan dianggap akan menimbulkan bencana bagi negara.
Maka dari itu, penyusunan sejarah tunggal yang dilakukan oleh pemerintah perlu diakhiri dan dengan tegas dibantah.
Pada rapat kerja itu, berbagai pihak terkait turut serta seperti Usman Hamid, Direktur Eksekutif dari Amnesty International Indonesia; Mike Verawati, Presiden Koalisi Perempuan Indonesia; Amirrudin, Aktivis HAM, bersama dengan beberapa figur penting lainnya.
Penjelasan Menteri Kebudayaan
Sebelumnya dilaporkan, Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon mengungkapkan alasannya pemerintah meresmikan penyusunan kembali sejarah Indonesia. Rencananya buku ini akan terbit pada tanggal 17 Agustus 2025 mendatang.
Fadli Zon mengatakan hal itu dalam acara Mata Lokal Fest 2025 yang diselenggarakan oleh Tribun Network di Hotel Shangri-La, Jakarta Pusat pada hari Kamis, tanggal 8 Mei 2025.
Fadli mengatakan bahwa kita perlu mensyukuri 80 tahun yang telah berlalu karena itu setara dengan 8 dasawarsa.
Sejak lama, Fadli mengingat betapa Indonesia selalu dirayakan ketika memasuki dasawarsa.
Fadli menginginkan agar tradisi tersebut terus berlanjut melalui momen penyelenggaraan tulis kembali sejarah Indonesia.
"Bila kita periksa sejak lama, hal tersebut senantiasa hadir, seperti Buku 10 Tahun Kemerdekaan Indonesia, 20 Tahun Kemerdekaan Indonesia, 30 tahun, 40 tahun, hingga 50 tahun, tetapi baru-baru ini sepertinya sedikit tersendat," jelasnya.
Sebelumnya, Fadli Zon mengumumkan niat perubahannya yang bertujuan melenyapkan pengaruh penjajahan terhadap sejarah RI selama 350 tahun demi menyingkirkan rasa rendah diri bangsa.
"Iya, generasi kita ini adalah generasi yang semakin kritis," kata Fadli.
Fadli kemudian mendorong semua penonton untuk merenung ulang tentang alasan mengapa suatu negeri yang amat perkasa dapat dikuasai begitu lama oleh Belanda, meskipun Belanda bukanlah kekuatan utama di Benua Eropa waktu itu.
Fadli menjelaskan bahwa di masa mendatang, sejarah resmi Republik Indonesia tentang hal tersebut akan menekankan pada aspek perjuangan melawan imperialis dankolonialisme.
"Dengan tujuan untuk menghidupkan kembali semangat perjuangan kami menentang imperialisme dan kolonialisme," katanya.
Menurut dia, tidak semua daerah di Indonesia langsung menyerah kepada kekuatan imperialis Belanda; sebaliknya, resistansi pun muncul di berbagai tempat.
Fadli menyatakan bahwa dalam catatan sejarahnya, tidak semua area Republik Indonesia dikuasai oleh penjajahan selama 350 tahun penuh.
"Di manapun pasti akan terjadi pemberontakan melawan penjajah sehingga saya rasa bukan semua masa itu adalah 350 tahun. Ada juga orang yang menyebut bahwa Indonesia sebetulnya tak pernah dijajah karena negara ini sudah dideklarasikan pada tanggal 17 Agustus 1945," ucapnya.
Ia mengatakan bahwa ketika Indonesia mencapai kemerdekaan, konflik yang berlangsung adalah peperangan pertahanan kemerdekaan. Ini disebabkan oleh kedatangan Belanda dan Sekutu kembali pada masa tersebut, di mana masyarakat Indonesia harus bertarung demi mempertahankan kemerdekaannya.
"Saya pikir kita perlu bersikap lebih obyektif. Faktanya, dalam sejarah banyak wilayah yang menolak, yang justru berlawanan sampai titik terakhir dan bahkan baru selama beberapa tahun saja, ada pula yang tak pernah dikuasai sama sekali," katanya. (*)
Tetap terhubung dengan informasi terkini yang banyak dibicarakan melalui kanal-kanal ini: Channel WA , Facebook , X (Twitter) , YouTube , Threads , Telegram
Artikel ini sudah dipublikasikan di Tribunnews.com denganjudul Rapat di Parlemen, Ahli Sejarah Menyuarakan Penentangan terhadap Ide Revisi Sejarah
Social Plugin