Syahdunya Wajah Baru Kota Lama Semarang,Suasana Kolonialisme yang Dipadu Modernitas

, SEMARANG - Suasana Kota Lama Semarang, Sabtu (17/5/2025), tampak berbeda.

Lalu lalang manusia, muda-mudi, anak-anak, dewasa dan tua, menggambarkan betapa 'sibuknya' Kota Lama Semarang, malam itu.

Suasana kolonial, sangat terasa karena bangunan-bangunan tua peninggalan Belanda di masa penjajahan, masih kokoh berdiri.

Penerangan jalanan serta siluet gedung-gedung berarsitektur kolosal memperkuat kreasi para pebisnis kreatif di Semarang sehingga Kota Lama menjadi semakin mengesankan bagi pengunjung.

Rintik hujan turun, tak menghalangi musik orkestra dimainkan, dan wisatawan berdatangan di depan Gereja Belenduk.

Musik orkestra yang dimainkan para pelajar mengalun, membelah malam Kota Lama Semarang yang basah oleh gerimis.

Seorang pengunjung, Ratna Ayu, menilai gelaran seni jalanan ini menjadikan Kota Lama Semarang lebih berkesan.

Jika biasanya hanya sebatas berfoto di bangunan bekas masa kolonial Belanda.

"Niat awal hanya ingin mengabadikan momen di depan Gereja Blenduk. Namun, hari ini istimewa karena terdapat orkestranya dan itu membuat saya sangat tertarik," ujar Ratna Ayu (28), turis berasal dari Kudus, sementara dia sedang mencatat suara orkestranya menggunakan perangkat miliknya pada Sabtu (17/5/2025).

Pertunjukan tersebut semakin populer berkat penyelenggaraannya yang rapih, disertai alunan Musik, peragaan busana oleh para model, serta pengrajin kain batik dan penbatik yang memamerkan keterampilannya di tepi jalan di bagian tua kota ini.

"Menarik sekali, umumnya mereka hanya mampir untuk foto-foto. Kini dengan adanya pertunjukan, menjadi lebih menarik dan tak membosankan. Semoga hal ini dapat bertahan," katanya.

Setelah Maghrib, suasana Old Town Semarang berubah. Lampu jalanan menyilaukan, mencerminkan diri pada batu bata yang agak licin.

Antara struktur lama yang telah ada sejak masa penjajahan, irama orkes siswa bergema perlahan, menenangkan, dan menyambut setiap orang yang melintas.

Tidak ada pentas khusus. Tidak ada pagar penghalang. Cukup dengan mengubah jalan menjadi sebuah panggung terbuka, tempat yang dinamis dipenuhi oleh irama Musik, gerakan Tari, keindahan Batik, serta santapan Kuliner.

Pertunjukan seni jalanan bernama Arti Street tersebut diciptakan oleh sekelompok pemuda penggiat ekonomi kreatif di Semarang yang dikenal sebagai Kresem atau singkatan dari Kreator Semarang.

"Segalanya berbahan organik. Tidak ada unsur formalitas. Kami dengan sengaja membuat pertunjukan jalanan agar semua orang dapat bergabung." jelas Andi Kusnadi (50), Ketua Kresem

Kota yang Kurang Untuk Satu Kali Swafoto

Selama bertahun-tahun, Kota Lama telah menjadi magnet utama bagi para pelancong yang berkunjung ke Jawa Tengah. Namun, pesonanya tampaknya hanya terbatas pada bangunan bersejarah, sesi pengambilan gambar, dan kemudian kembali pulang tanpa lebih banyak petualangan.

Melalui Kresem, mereka menghasilkan dalih untuk kembali lagi. Tiap dua pekan sekali, 17 sektor dalam ekonomi kreatif akan menampilkan dirinya secara berurutan: kesenian panggung, kerajinan, mode, makanan minuman, hingga aplikasi dan permainan digital.

"Jika kandungan konten terus-menerus baru, orang akan kembali. Mereka akan berbagi lagi. Mereka menjadi bagian dari acaranya. Bukan hanya sebagai penonton," imbuhnya.

Pada malam tersebut, pertunjukan dibuka oleh orkes pelajar dari GEMA Nusantara. Kemudian dilanjutkan dengan tari tradisional dari kelompok Sokoparti. Setelah itu, sebuah pawai busana batik perlahan melintasi jalan-jalan yang masih tergenang air hujan.

Dari sisi yang lain, masyarakat dapat turun langsung untuk membatik, merasakan masakan tradisional, ataupun hanya bercengkerama bersama para pembatik dan seniman, sekaligus menyaksikan pementasan kesenian.

"Tanpa batasan apapun. Boleh bernyanyi, silakan. Ingin menari, tentu saja. Bahkan mauikut fashion show juga diperbolehkan. Para pengunjung dapat berpartisipasi secara aktif," jelas Andi.

Konsep ini sengaja dirancang agar masyarakat tak sekadar menonton, namun bisa ikut melebur dalam kesenian dan kreativitas warga Semarang.

Andi menyebut bahwa inspirasi untuk ide ini berasal dari ketidaknyamanan sejumlah penggiat seni dan kreativitas. Banyak orang-orang dengan konsep cemerlang namun kurang memiliki tempat untuk mengembangkannya. Oleh karena itu, area publik seperti jalan raya berubah menjadi pentas bagi mereka. Cahaya dari bangunan-bangunan di kota bertindak sebagai pencahayaan utama pertunjukan tersebut. Sementara itu, platform-media sosial digunakan secara maksimal sebagai saluran periklanan atas acara atau pameran semacamnya.

Kawasan Kota Lama yang dipenuhi oleh gedung-gedung dari masa kolonial Belanda, ketika masih dikuasai oleh para meneer dan mevrouw di Semarang, telah direnovasi menjadi pusat display untuk membantu pelaku seni serta ekonomi kreatif memperluas jaringannya.

"Terdapat 100 peserta yang ikut serta dalam acara ini, termasuk anggota orkestra. Pastinya, para profesional industri kreatif di tempat ini berharap dapat memanfaatkannya sebagai kesempatan untuk mendongkrak usaha mereka melalui pemasaran bersama," ungkap Andi.

Setelah pertunjukan pada malam tersebut, versi berikutnya akan dipenuhi dengan jazz jalanan.

Walaupun langit kian pekat, namun Kota Lama malah tambah bercahaya. Tak sekadar karena penerangan jalan, tetapi juga dari tawa lepas, alunan musik, serta obrolan yang hangat di kalangan para tamu.

Hujan gerimis kembali muncul walaupun kegiatan telah ditunda. Meskipun demikian, masih ada banyak pelancong yang memilih untuk menghabiskan waktu mereka dengan menunggu sambil berlindung di sudut-sudut gedung bersejarah tersebut.

Karena malam ini Kota Lama tidak hanya berfungsi sebagai background fotografi, melainkan juga tempat bersama untuk menciptakan karya, mengekspresikan diri, dan membentuk kenangan. (Rad)