MK Menolak Gugatan Penghapusan Pajak Pensiun dan Pesangon

Putusan Mahkamah Konstitusi Mengenai Pajak Pesangon dan Pensiun

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian materiil pajak atas pesangon pensiun yang diajukan oleh sejumlah karyawan bank swasta. Putusan ini diambil pada Kamis (13/11/2025), dalam sidang Pengucapan Putusan untuk perkara Nomor 186/PUU-XXII/2024 terkait permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU 7/2021).

Dalam amar putusan yang diumumkan oleh MK, disebutkan bahwa permohonan para pemohon tidak dapat diterima karena dianggap tidak jelas atau kabur. Ketua MK Suhartoyo menjelaskan bahwa setelah Mahkamah mencermati rumusan Pasal 4 ayat (1) huruf a dalam Pasal 3 angka 1 UU 7/2021, ternyata tidak terdapat frasa “tunjangan dan uang pensiun” sebagaimana dimaksud para Pemohon, melainkan kata “tunjangan” dan frasa “uang pensiun” yang masing-masing terpisah dan tidak dalam satu kesatuan frasa.

Selain itu, pada bagian petitum angka 1, para pemohon menambahkan uraian kalimat alasan permohonan yang seharusnya diuraikan pada bagian posita, sehingga menyebabkan ketidakjelasan. Pada bagian petitum angka 2, para pemohon meminta Pasal 17 ayat (1) huruf a dinyatakan konstitusional bersyarat sebagaimana yang diinginkannya. Namun, dalam alasan permohonan, para pemohon hanya menyebutkan pertentangan Pasal 17 secara keseluruhan, sehingga Mahkamah menilai para pemohon tidak konsisten.

Latar Belakang Perkara

Perkara ini diajukan oleh sembilan pemohon yang terdiri dari Jamson Frans Gultom, Agus Suwargi, Budiman Setyo Wibowo, Wahyuni Indrjanti, Jamil Sobir, Lyan Widiya, Muhammad Anwar, Cahya Kurniawan, dan Aldha Reza Rizkiansyah. Mereka meminta MK menyatakan ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Pajak Penghasilan bertentangan dengan UUD 1945.

Pemohon menilai bahwa pengenaan pajak atas pesangon, pensiun, tabungan hari tua (THT), dan jaminan hari tua (JHT) sebagai tambahan kemampuan ekonomis tidak adil, bertentangan dengan prinsip kesejahteraan rakyat, dan merugikan secara konstitusional. Mereka meminta MK membatalkan ketentuan tersebut, melarang pemerintah memungut pajak atas penerimaan tersebut, serta menyesuaikan sistem perpajakan agar selaras dengan prinsip keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Para pemohon adalah karyawan dan mantan karyawan bank swasta yang tergabung dalam Forum Pekerja Bank Swasta, sehingga mengalami kerugian langsung akibat ketentuan tersebut. Mereka menyoroti bahwa pajak progresif atas pesangon dan pensiun salah karena menganggapnya sebagai penghasilan baru, padahal merupakan hasil jerih payah pekerja.

Alasan Pemohon

Pengenaan pajak ini dianggap bertentangan dengan beberapa pasal dalam UUD 1945, termasuk Pasal 28D ayat (1), Pasal 34 ayat (2), Pasal 28H ayat (1), dan prinsip keadilan sosial dalam Pembukaan UUD 1945. Mereka berpendapat bahwa pajak ini membebani kelompok rentan dan melemahkan jaminan sosial.

Selain itu, penerapan asas self assessment bagi pensiunan menimbulkan beban psikologis dan administratif, menyalahi prinsip welfare state, dan menciptakan ketidakadilan fiskal (double taxation), karena pajak sudah dibayarkan selama masa kerja. Dampaknya, pensiunan kehilangan rasa aman dan kesejahteraan di masa tua.

Oleh karena itu, serikat pekerja menilai terdapat dasar moral dan konstitusional yang kuat untuk mengajukan judicial review ke MK terkait pajak pesangon dan pensiun. Meskipun demikian, MK menilai permohonan tersebut tidak jelas dan tidak dapat diterima.