Kesaksian Korban Selamat Pembantaian El-Fasher: Dianggap Budak

Kekerasan dan Penderitaan di El-Fasher, Sudan

Peristiwa pembantaian terhadap ribuan orang di kota El-Fasher, Darfur, Sudan, oleh pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) menyisakan duka yang mendalam. Selain itu, ratusan pria dan anak laki-laki di sekitar kota El-Fasher, setelah wilayah itu jatuh ke tangan mereka.

Seorang pemuda bernama Hussein menjadi salah satu dari ratusan warga yang ditangkap di kota Garni, sekitar 25 kilometer dari El-Fasher, ketika mencoba melarikan diri dari pertempuran. "Kami dikumpulkan dan dibawa pergi," ujar Hussein kepada AFP, Minggu (3/11/2025). Hussein menambahkan, dia dan sekitar 200 pria muda ditahan selama beberapa hari oleh anggota RSF. "Mereka memukuli kami dengan tongkat dan menyebut kami budak," kata Hussein, yang hanya bersedia disebut dengan nama depannya karena takut akan pembalasan.

Hussein menuturkan bahwa dia dan para tahanan lain hanya diberi satu kali makan sehari dan dikurung di dalam gedung sekolah. "Setelah empat hari, sebagian dari kami dibebaskan, tapi setiap hari mereka membawa orang baru," ujarnya. Abbas al-Sadek, dosen di Universitas El-Fasher, termasuk di antara warga yang sempat ditahan RSF. Salah satu kerabatnya mengatakan bahwa sebelum menghilang, Abbas mengirim video singkat meminta koleganya mentransfer uang sebesar 900 dolar AS ke sebuah rekening. "Uang ini menyelamatkan nyawaku. Mereka memberi waktu hanya 10 menit," ujar Abbas dalam video tersebut.

Menurut keluarganya, uang itu diyakini sebagai tebusan. Abbas kemudian dibebaskan dan kini menuju Tawila. Namun, banyak warga lain yang belum diketahui nasibnya. RSF yang telah berperang dengan tentara Sudan sejak April 2023 berhasil merebut kota strategis El-Fasher satu pekan lalu. Hal itu menandai berakhirnya pengepungan selama 18 bulan yang disertai kelaparan dan pengeboman terhadap warga sipil.

Sejak pengambilalihan kota, muncul laporan tentang eksekusi, kekerasan seksual, penjarahan, serangan terhadap pekerja kemanusiaan, dan penculikan. Komunikasi di wilayah tersebut kini sebagian besar terputus, membuat informasi sulit diverifikasi.

Krisis Kemanusiaan di Wilayah Darfur

Wilayah Darfur telah lama menjadi tempat tinggal bagi kelompok etnis non-Arab yang kerap menjadi sasaran milisi bersenjata. RSF sendiri berakar dari kelompok milisi Janjaweed yang dituduh melakukan genosida di Darfur dua dekade lalu. Kekhawatiran akan terulangnya kekejaman serupa meningkat sejak El-Fasher jatuh ke tangan RSF.

PBB melaporkan lebih dari 65.000 orang telah melarikan diri dari El-Fasher, termasuk sekitar 5.000 ke kota terdekat, Tawila. Namun, puluhan ribu lainnya masih terjebak di dalam kota tersebut dengan kondisi yang porak-poranda. Doctors Without Borders (MSF) menyatakan banyak warga masih hilang meski sebelumnya berhasil bertahan dari kelaparan dan kekerasan selama berbulan-bulan.

Michel Olivier Lacharité, kepala penanganan darurat MSF, mengatakan jumlah pengungsi baru tidak sebanding dengan total penduduk sebelumnya, sementara laporan kekejaman terus meningkat. Citra satelit yang dianalisis oleh Yale University’s Humanitarian Research Lab menunjukkan aktivitas di daerah Garni yang dikuasai RSF. Peneliti juga mengidentifikasi beberapa objek berukuran 2x3 meter di sebuah fasilitas yang diduga digunakan sebagai sekolah.

Penyiksaan dan Pembunuhan

Seorang ibu bernama Zahra, kini berlindung di Tawila, mengatakan bahwa dua anak lelakinya berusia 16 dan 20 tahun ditangkap RSF. "Mereka akhirnya melepaskan yang kecil, tapi saya tidak tahu apakah Mohammed, anak sulung saya, masih hidup atau tidak," katanya. Sementara itu, seorang ayah bernama Adam mengatakan dia melihat sendiri dua putranya dibunuh di depan matanya setelah dituduh sebagai tentara.

"Mereka menuduh saya tentara karena ada darah anak-anak saya di baju," ucapnya. Adam kemudian dibebaskan setelah diinterogasi selama berjam-jam, tetapi banyak tahanan lain masih belum dilepaskan. Saksi mata yang ditemui MSF mengatakan para tahanan dipisahkan berdasarkan usia, jenis kelamin, dan identitas etnis, serta sebagian besar ditahan untuk dimintai tebusan.

Diburu Karena Warna Kulit

Di Tawila, koordinator MSF Sylvain Penicaud menuturkan banyak warga trauma dan masih mencari keluarga yang hilang. Dia menambahkan bahwa banyak pengungsi mengatakan mereka diserang karena warna kulit mereka. "Yang paling menakutkan adalah mendengar bagaimana orang-orang diburu saat berlari menyelamatkan diri, diserang hanya karena berkulit hitam," ujarnya. Baik RSF maupun tentara Sudan telah berulang kali dituduh melakukan kejahatan perang sejak konflik pecah. Amerika Serikat (AS) sebelumnya menyatakan RSF telah melakukan genosida di Darfur.